Sebagai anak laki-laki pertama dalam keluarga. Saya tetap memiliki tanggung jawab terhadap orang tua dan keluarga sekalipun saya telah berkeluarga sendiri. Hal ini merupakan hal lazim dalam masyarakat Madura dimana anak laki-laki pertama menjadi tempat “rembeg” (berembuk/berkonsultasi) dalam hal apapun. Maka, tugas anak laki-laki pertama hampir sama berat bebannya dengan Bapaknya sebagai kepala keluarga.


Saat Makbul—adik laki-laki paling bungsu menyampaikan ingin kuliah S-2 setelah menyelesaikan S-1 saat pandemi. Awalnya, ia agak segan karena selama jenjang S-1 saya yang membiayai kuliahnya di tengah kondisi saya sebagai dosen muda, memiliki cicilan bank, dan memiliki anak pertama yang membutuhkan susu, pokok, pengasuh anak, dan kebutuhan domestik lainnya. Tanpa pikir panjang, saya langsung meng-iya-kan agar ia segera studi lanjut dengan tetap memberikan penjelasan kepada istri saya.


Saya tahu risiko yang harus saya hadapi. Yaitu, saya harus menunda kembali untuk studi lanjut (S-3) maupun membeli kendaraan, setelah sebelumnya harus membantu laki-laki yang satunya menyelesaikan studinya S2 Hukum di UII dan saat itupun Makbul sedang kuliah S-1. Alhamdulillah, adik saya yang sama-sama alumni UII mengikuti saya sebagai dosen dan Kaprodi Ilmu Hukum Unira. Kepada kedua adik laki-laki itu saya hanya memberinya dua syarat, yaitu: dilarang menikah selama kuliah dan fokus belajar. Itu saja!. Saya tidak tahu apa yang saya lakukan pada saat itu benar atau salah—saya hanya mengikuti apa yang menjadi pesan Bapak “sa taretanan dek remmah se padhe kompakah” (sesama saudara bagaimana caranya saling kompak).


Siang tadi. Saya merasa cukup lega. Makbul mampu mempertahan tesisnya yang berjudul “aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam ruang publik: pendekakatan systematic literature review” di MAP Unsoed. Ia menjadi angkatan pertama yang bisa menyelesaikan studi 1,5 tahun (3 semester). Setidaknya, saya yang menyaksikan dari luar ruangan mampu merasakan apa yang barangkali dirasakan oleh kedua orang tua saya dalam kondisi seperti ini. Sementara saya hanya melakukan sebutir debu dari lautan pasir apa yang menjadi tugas orang tua saya.


Saya patut berterima kasih kepada istri dan anak-anak. Yang masih memberikan ruang untuk membagi ruang antara tanggung jawab dan kewajiban. Begitupula dengan pimpinan dan rekan sejawat, Insya Allah secepatnya saya berangkat kuliah. He!


Aku bangga padamu, Bul!.




 Lanjutan...


Cerita pertama,


Saya lagi sekolah  bu guru saya bu dewi Saya di kelas dua bayak teman, aliya, hafiz, dan lain. Saya di sekolah bermain  dengan hanum beli jajan sama hanum teman saya. Kalau moza beli jajan bareng saya, banyak teman hanum dan moza dan lainnya.


Bu guru saya belajar di sekolah kalo sudah selesai belajar terus istirahat. Kalau jumat saya senam sehat belajar bahasa inggris terus saya olahraga sama bu guru dewi dan juga bu guru ita. Pas hari sabtu saya mengambar di sekolah, bu guru dewi larang keluar kelas, kalau keluar nanti diminta tulis kesalahan.



Sepulang salat subuh dari mushola pagi ini Luna sudah rebahan. Sepertinya ia mulai mengantuk dan hendak tidur lagi. Apalagi, Istri saya sudah tidak memberi jatah nonton HP pagi hari selain hari libur. Saya pun menawarkan Luna bagaimana kalau belajar menulis saja. Saya pun membuka laptop dan menyediakan media menulisnya.


Awalnya, ia bingung mau menulis apa. Maklum saja, karena selama ini saya tidak pernah mengajak dan mengajarinya menulis. Saya pun meminta agar Luna menulis apa menjadi kesehariannya. Luna pun mengetik dengan dua jari sembari menunggu sarapan dan bersiap ke sekolah. Barikut ketikan tulisannya tanpa saya perbaiki sama sekali.


________

nama revoluna azalia makhadi sholat subu sama mba zaenab sholat  di depan nama adek saya khawla  suka nagis berataki mainan  saya sekolah membawa lem dan kuntin ayah saya makhrus  ayah saya cita cita ya mejadi dosen kalau bunda saya cita cita ya mejadi bri  kalau saya cita cita ya mejadi dosen kalau adek saya cita cita ya mejadi guru adek saya mau sekolah nayik sepeda.


Saya mau ngaji saya sudah alquran jus dua  malam malam saya ngaji jus 18 kalau ayah pulang ngaji  arqam saya sangu lima ribu sekolah sangu lima ribu kalau adek saya sangu dua ribu. 




Malam ahad kemarin. Seperti biasa saya meminta Luna untuk mengaji dengan saya, sekalipun sore harinya ia telah mengaji di Madin sebelah rumah mertua. Barangkali, itu hal wajar bagi semua orang tua untuk mengetahui kemampuan membaca Alquran anaknya dan pembiasaannya.


"Kakak, mau hapalan aja" nego Luna.


"Kan, beda Kak"


"Nggak mau. Kakak mau hapalan aja" wislah. Ini sudah pakai jurus ngambek.


Saya pun menyerah. Saya mengikuti keinginan Luna setor hapalan juz 30 yang masih hapal sebagian itu. Namun, tidak berapa lama berselang datanglah Khawla untuk mengajak bermain lampu-lampuan. Dan sudah pasti bisa ditebak, hapalan dan ngaji pun menjadi ambyar malam itu. Kedua bocah itu malah bermain.


"Ayah foto bareng sama anak-anak itu" pinta istri yang sedari tadi di sebelah saya. Ia tahu saya pasti marahi anak-anak yang bermain di jam belajar. Saya pun manut saja.


"Kak, Dek.. cium ayah itu.." pinta istri di foto kedua.


Laah.. saya jadinya tidak jadi marah. 


😩